Salah satu nikmat,
amanah, sekaligus ujian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah hadirnya seorang anak di tengah keluarga
kita. Perilaku lucu, cerdik, menggelikan, sekaligus menyenangkan, senantiasa
mereka tampilkan. Hal itu membuat suasana keluarga semakin meriah. Hadirnya
momongan di tengah keluarga merupakan dambaan pasutri (pasangan suami–istri)
atau orang tua. Karena itu dapat kita bayangkan, betapa sepinya keluarga, jika
anak tak berada di dalam satu keluarga.
Selanjutnya, cara orang
tua menyambut, menjaga, memelihara, mengarahkan, membimbing, atau mendidik anak untuk kehidupan anak di masa depan jangka pendek
(dunia) dan jangka panjang (akhirat) akan memberikan andil besar atau bahkan
menentukan bagi:
1. Sukses tidaknya orang
tua di dalam bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas nikmat dariNya berupa anak, sehingga anak
tidak dicemari fitrahnya.
2. Sukses tidaknya orang
tua di dalam menunaikan amanah Allah Subhanahu wa Ta’ala berupa anak, sehingga akan tumbuh anak-anak
shalih atau shalihah.
3.Sukses tidaknya orang
tua di dalam menempuh ujian dengan lahirnya anak di tengah keluarga, sehingga
anak tidak menjadi penyebab orang tua meninggalkan ibadah kepada AllahSubhanahu wa Ta’ala.
Jamaah Jumat Rahimakumullah
Rasulullah sallallahu
‘alahi wa sallam telah
bersabda:
مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ
إِلاَّ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ
يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ.
“Tidaklah anak manusia
dilahirkan melainkan pasti lahir di atas fitrahnya, maka kemudian orang
tuanyalah yang membuatnya menjadi Yahudi atau Nasrani atau Majusi.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Berdasarkan hadis ini
kita mengetahui, bahwa anak lahir dalam keadaan fitrah (bertauhid dan
berpotensi baik). Jika kemu-dian anak menjadi menyimpang, ia menjadi
Yahudi/Nasrani/ Ma-jusi, dan ahli maksiat, maka orang tua memiliki andil besar
sebagai penyebabnya. Mengapa?
Sebabnya adalah:
Pertama, orang tua adalah pihak
yang sejak awal paling dekat dan berpengaruh langsung kepada anak.
Kedua, orang tua tidak
memberikan perawatan dan pendidikan yang tepat sejak usia dini. Orang tua
justru memberikan pendi-dikan yang menyimpang dari tauhid dan sunnah Rasulullahsallallahu ‘alahi wa
sallam.
Jika orang tua mencari
rezeki (nafkah) dengan cara yang batil (hasil menipu, mencuri, korupsi, riba, memeras,
dan sejenisnya), maka nafkah tersebut tidak berkah (tidak mengandung kebaikan).
Lantas, anak dan istri, juga diri ayah tersebut tumbuh dari perawatan
fisik/jasad (nafkah) yang haram. Pengaruhnya, hati manusia menjadi keras untuk
menerima kebenaran dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.
Hal itu akan diperparah
lagi dengan cara, harta dari hasil yang haram tersebut dibelanjakan untuk
makanan, minuman, dan hal-hal lain yang haram (untuk merokok, berjudi, khamr,
narkoba, membeli daging babi dan marus/darah binatang dan sejenisnya). Maka
tumbuhlah jasmani yang tidak sehat. Inilah bentuk perawatan yang menyimpang.
Adapun pendidikan yang
menyimpang terlihat dengan jelas, manakala orang tua menyerahkan pendidikan
anak mereka pada sekolah-sekolah yang tidak menghargai pendidikan Agama secara
memadai. Hal itu diperburuk dengan pendidikan agama yang diajarkan itu pun
menyimpang dari sumber rujukan Islam (Alquran dan sunah).
Berbarengan dengan hal
itu, anak dicekoki dengan berbagai acara di TV, radio, dan sejenisnya selama
berjam-jam setiap harinya. Demikian halnya di masyarakat marak sekali adanya
acara panggung-panggung hiburan yang jauh dari tuntunan Islam. Dilengkapi
dengan pergaulan yang dialami anak, baik di lingkungan keluarga besarnya, di
masyarakat, dan di berbagai kesempatan, jauh dari akhlak Islami. Disempurnakan
dengan bahan bacaan (majalah, surat kabar, tabloid, novel, puisi, kaset/CD/DVD,
dan sejenisnya) yang mengumbar kemaksiatan (pornografi dan sejenisnya), maka
genap lengkap dan sempurnalah pendidikan anak yang menyimpang menjadi
menu/program/kurikulum yang mengarahkan anak menjadi Yahudi, Nasrani, atau
Majusi.
Sungguh besar pengaruh
orang tua terhadap anak. Pepatah mengatakan, “Mangga jatuh tidak jauh dari
pohonnya.” Rasulullah sallallahu ‘alahi wa sallam pun telah bersabda:
اَلْمَرْءُ عَلَى دِيْنِ
خَلِيْلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ.
“Agama seseorang
tergantung kepada siapa yang menjadi orang yang paling dicintainya. Maka coba
perhatikan siapa orang yang paling dicintai oleh salah seorang dari kalian.” (HR. Ahmad).
Sadar atau pun tidak,
orang tua dan masyarakat yang demikian telah dengan mulus memberikan jalan
kepada program-program kerja Yahudi, Nasrani, dan Majusi, yang dengan gigih
menyediakan semua waktu, tenaga, dan pikiran, program hiburan, serta hartanya
di dalam program pemurtadan umat Islam dalam bentuk ‘tidak harus berpindah
agama’.
Firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala:
وَلَن تَرْضَى عَنكَ
الْيَهُودُ وَلاَ النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى
اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَآءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ
مِنَ الْعِلْمِ مَالَكَ مِنَ اللَّهِ مِن وَلِيٍّ وَلاَ نَصِيرٍ
“Orang-orang Yahudi dan
Nasrani tidak akan senang kepada kamu sehingga kamu mengikuti agama mereka.
Katakanlah, ‘Sesungguh-nya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya)’.
Dan sesung-guhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang
kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 120).
Inilah tantangan umat
Islam dari luar dirinya di masa kini dan mendatang. Demikian halnya kelemahan
umat Islam sendiri (tidak memahami Islam dengan benar, taklid, berlebih-lebihan
di dalam mencintai orang-orang shalih, maupun meremehkan agama, tidak
istiqamah, dan sejenisnya, lemah iptek, tak profesional di dalam beramal, dan
lain-lain) merupakan tantangan dari dalam tubuh umat Islam yang harus dijawab
umat Islam sendiri.
Orang tua, khususnya
ayah, adalah pihak yang paling bertanggung jawab untuk menyelesaikan agenda
besar ini dalam lingkup keluarga yakni pendidikan yang sejalan dengan fitrah
anak. Pendidikan anak yang demikian dapat menghadapi tantangan masa kini dan
masa depan yang bersifat materialistis, liberalistis, anti AGAMA, dan pengumbar
nafsu yang diciptakan oleh Yahudi, Nasrani, dan Majusi.
Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ
ءَامَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ
وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلآئِكَةٌ غِلاَظٌ شِدَادُُ لاَّيَعْصُونَ اللهَ
مَآأَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَايُؤْمَرُونَ
“Hai orang-orang yang
beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya
adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras,
yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka
dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tah-rim: 6).
dan luar tersebut, dengan cara
memberikan perawatan yang baik dan halal, serta pendidikan yang berbasis Islam
yang mengembangkan fitrah anak, maka akan lahir anak-anak yang bertauhid,
berbuat baik, menguasai bidang keahlian yang dipilihnya, dan istiqamah di atas
Din yang haq (Dinul Islam). Akhirnya kelak akan lahir anak-anak yang sanggup
menghadapi tantangan materialisme, liberalisme, anti Agama, dan para pengumbar
nafsu produk dan antek Yahudi dan Nasrani. Insya Allah Subhanahu wa
Ta’ala mereka akan mengungguli
musuh-musuh Allah, musuh-musuh Islam, dan musuh-musuh kaum Muslimin hari ini
dan ke depan.
Demikian halnya, anak
merupakan amanah.
Orang tua yang sukses
adalah mereka yang sanggup mengem-ban amanah. Sesunguhnya Allah Subhanahu wa
Ta’ala telah mempercayakan
makhlukNya (berupa anak) untuk dirawat/diasuh dan dididik oleh orang tua. Orang
tua yang menyadari hal ini, mereka akan memperkuat keikhlasan, kesabaran, dan
kesungguhannya di dalam merawat dan mendidik amanah Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Anak merupakan asset
masa depan (dunia, jangka pendek dan akhirat, jangka panjang). Tanpa
keikhlasan, kesabaran, dan kesungguhan (juhud) yang prima, niscaya orang tua
akan menghadapi kegagalan di dalam menunaikan amanah.
Orang tua hendaknya
mengerahkan segala daya upaya –yang juga merupakan karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala – untuk meraih keuntungan/kebaikan dunia akhirat
bagi diri mereka dengan cara menunaikan amanah yakni merawat dan mendidik anak.
Mereka selalu mengingat dan melaksanakan sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berikut
:
إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ
انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ: صَدَقَةٌ جَارِيَةٌ، أَوْ عِلْمٌ
يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٌ صَالِحٌ يَدْعُوْ لَهُ.
“Apabila anak Adam
(manusia) meninggal dunia, maka terputuslah semua amalnya, kecuali tiga hal:
Sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya.” (HR. Muslim).
Anak shalih/shalihah
tidaklah akan mungkin terwujud, manakala perawatan dan pendidikan terhadapnya
menyimpang. Oleh karena itu, orang tua yang menghendaki buah yang segar di
dunia maupun di akhirat berupa anak shalih/shalihah, maka hendaknya mereka
mempersiapkannya sebaik mungkin sejak dini.
Anak shalih adalah anak
yang berbuat baik yakni anak yang tergambarkan di dalam Firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala berikut ini :
وَاعْبُدُوا اللهَ
وَلاَتُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى
وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ
وَالصَّاحِبِ بِالْجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ
اللهَ لاَيُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالاً فَخُورًا
“Sembahlah Allah dan
janganlah kamu menyekutukanNya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada
dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba
saha-yamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang som-bong dan
membangga-banggakan diri.”
(QS. An-Nisa`: 36).
Berdasarkan ayat ini,
anak/orang yang baik adalah:
1. Bertauhid dan tidak
menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
2. Birrul walidain (berbakti
kepada ibu bapak).
3. Berbuat baik kepada
sesama manusia.
4. Tidak sombong dan
bangga diri.
Anak shalih yang
berciri-ciri seperti digambarkan pada surah an-Nisa` 36 itulah yang sanggup
menjawab tantangan zaman, yang sanggup mengatur dunia ini dalam rangka taat
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan hal itu merupakan karunia dariNya kepada siapa yang Dia
Kehendaki. Perhatikan Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala “
وَعَدَ اللهُ الَّذِينَ
ءَامَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي اْلأَرْضِ
كَمَااسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ
الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا
يَعْبُدُونَنِي لاَيُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ
فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Dan Allah telah berjanji
kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang
shalih, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi,
sebagaimana Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhaiNya untuk
mereka, dan Dia benar-benar akan mengubah (keadaan) mereka, sesudah mereka
berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahKu dengan
tiada menyekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap)
kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nur: 55).
Upaya orang tua
berikutnya dalam rangka menyiapkan anak menghadapi tantangan zaman di masanya
adalah bahwa sejak awal orang tua harus menyadari bahwa anak merupakan ujian
bagi diri mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan karunia anak, berarti Allah Subhanahu wa
Ta’ala juga sedang menguji
orang tua. Luluskah dalam ujian?
Ujian yang datangnya
dari Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki tujuan untuk mengetahui dengan
sebenarnya siapa yang benar-benar beriman dan siapa yang dusta; siapa yang
bersungguh-sungguh dan siapa yang bermain-main; siapa yang terbaik amalnya dan
siapa yang merugi. Hal ini banyak disebutkan di dalam Alquran al-Karim. Di
antaranya :
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ
الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ
الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَاْلأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ
ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَئَابِ
“Dijadikan indah pada
(pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu:
Wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali Imran: 14).
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ
لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ
فَلْيَتَّقُوا اللهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا
“Dan hendaklah takut
kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan anak-anak yang lemah di
belakang mereka, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh
sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan perkataan yang benar.” (QS. An-Nisa`: 9).
وَاعْلَمُوا أَنَّمَآ
أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلاَدُكُمْ فِتْنَةُُ وَأَنَّ اللهَ عِندَهُ أَجْرُُ عَظِيمُُ
“Dan ketahuilah, bahwa
hartamu dan anak-anakmu itu hanya sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi
Allah-lah pahala yang besar.”
(QS. Al-Anfal: 28).
Jika kita sebagai orang
tua –lebih khusus sebagai ayah- sanggup merawat dan mendidik anak dengan
berbasiskan Islam, sehingga ciri-ciri anak shalih seperti tersebut di atas
teraih, maka inilah bukti kita mengikuti dan taat kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan Rasul-Nya, bukti
bahwa kita cinta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, bukti bahwa kita telah
bersungguh-sungguh (berjihad) dalam dunia pendidikan fi sabilillah.
Anak adalah ujian yang
jika kita kurang hati-hati, akan menempatkan kita pada derajat fasik, mengapa?
Sebab jika kita teledor, maka saking cintanya kita kepada anak, dapat
melalaikan kita dari cinta dan taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, Rasul-Nya, dan berjihad di jalan-Nya.
Perhatikan Firman-Nya:
قُلْ إِن كَانَ ءَابَآؤُكُمْ
وَأَبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ
اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَآ
أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ اللهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا
حَتَّى يَأْتِيَ اللهُ بِأَمْرِهِ وَاللهُ لاَيَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Katakanlah, ‘Jika
bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluarga, harta
kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan
rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada
Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalanNya, maka tunggulah sampai
Allah mendatangkan keputusanNya’. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang fasik.”
(QS. At-Taubah: 24).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar